Jumat, 06 Juli 2012

Part 7

Adakah Suara Cemara

buat Ati



Adakah suara cemara
Mendesing menderu padamu
Adakah melintas sepintas
Gemersik dedaunan lepas

Deretan bukit-bukit biru
Menyeru lagu itu
Gugusan mega
Ialah hiasan kencana

Adakah suara cemara
Mendesing menderu padamu
Adakah lautan ladang jagung
Mengombakkan suara itu

1973



Kopi Menyiram Hutan

Tiga juta hektar
Halaman surat kabar
Telah dirayapi api
Terbit pagi ini
Panjang empat jari
Dua kolom tegaklurus
Dibongkar dari pik-ap
Subuh dari percetakan
Ditumpuk atas jalan
Dibereskan agen koran
Sebelum matahari dimunculkan
Dilempar ke pekarangan
Dipungut oleh pelayan
Ditaruh di meja makan
Ditengok secara sambilan
Dasi tengah diluruskan
Rambut isteri penataan
Empat anak bersliweran
Pagi penuh kesibukan
Selai di tangan
Roti dalam panggangan
Ketika tangan bersilangan
Kopi tumpah di bacaan
Menyiram tiga juta hektar koran
Dua kolom kepanjangan
Api padam menutup hutan
Koran basah dilipat empat
Keranjang plastik anyaman
Tempat dia dibuangkan
Tepat pagi itu
Jam setengah delapan.

1988


KARANGAN BUNGA

Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba
Sore itu
‘Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang ditembak mati
Siang tadi.’
1966


1946: Larut Malam Suara Sebuah Truk
Sebuah truk laskar menderu
Masuk kota Salatiga
Mereka menyanyikan lagu
‘Sudah Bebas Negeri Kita’

Di jalan Tuntang seorang anak kecil
Empat tahun, terjaga:
‘Ibu, akan pulangkah bapa,
Dan membawakan pestol buat saya?’


Buku Tamu Musium Perjuangan

Pada tahun keenam Setelah di kota kami didirikan Sebuah musium perjuangan Datanglah seorang lelaki setengah baya Berkunjung dari luar kota Pada sore bulan Nopember berhujan Dan menulis kesannya di buku tamu Buku tahun keenam, halaman seratus delapan

‘Bertahun-tahun aku rindu Untuk berkunjung ke mari Dari tempatku jauh sekali Bukan sekedar mengenang kembali Hari tembak-menembak dan malam penyergapan Di daerah ini Bukan sekedar menatap lukisan-lukisan Dan potret para pahlawan Mengusap-usap karaben tua Baby mortir buatan sendiri Atau menghitung-hitung satyalencana Dan selalu mempercakapkannya

Alangkah sukarnya bagiku Dari tempatku kini, yang begitu jauh Untuk datang seperti saat ini Dengan jasad berbasah-basah Dalam gerimis bulan Nopember

Datang sore ini, menghayati musium yang lengang Sendiri Menghidupkan diriku kembali Dalam pikiran-pikiran waktu gerilya Di waktu kebebasan adalah impian keabadian Dan belum terpikir oleh kita masalah kebendaan Penggelapan dan salahguna pengatas-namaan Begitulah aku berjalan pelan-pelan Dalam musium ini yang lengang Dari lemari kaca tempat naskah-naskah berharga Ke sangkutan ikat kepala, sangkur-sangkur berbendera Maket pertempuran dan penyergapan di jalan Kuraba mitraliur Jepang dari baja hitam Jajaran bisu pestol Bulldog, pestol Colt PENGOEMOEMAN REPUBLIK yang mulai berdebu Gambar laskar yang kurus-kurus Dan kuberi tabik khidmat dan diam Pada gambar Pak Dirman

Mendekati tangga turun, aku menoleh kembali Ke ruangan yang sepi dan dalam Jendela musium dipukul angin dan hujan Kain pintu dan tingkap bergetaran Di pucuk-pucuk cemara halaman Tahun demi tahun mengalir pelan-pelan

Di depan tugu dalam musium ini Menjelang pintu keluar di tingkat bawah Aku berdiri dan menatap nama-nama Dipahat di sana dalam keping-keping aluminia Mereka yang telah tewas Dalam perang kemerdekaan Dan setinggi pundak jendela Kubaca namaku di sana…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar